Diakhir
bergulirnya otonomi Khusus bagi rakyat Papua kita masih menyaksikan
lumbung-lumbung konflik yang terjadi. Simak saja wilayah merah”sering timbul
konflik” di Papua. Se-tidaknya adalah Timika, Nabire, Puncak Jaya dan wilayah
terisolir lainya diPapua. Hampir sebagian wilayah konflik tersebut berdiri
sejumlah investasi baik asing maupun lokal yang dijamin oleh negara.
Politik pecah belah tidak hanya bagian dari restorasi
pemodal, tetapi juga pedang bagi kolonialisasi suatu wilayah. Dominasi antara
modal dan birokrasi kolonial tidak bisa dibedakan antara pelaku dan agen dari
usaha-usaha merubah tatanan rakyat setempat. Jaman sebelum dan sesudah
Globalisasi, negara kapan saja dan dimanapun dapat memindahkan secara paksa
komunitas warga dari pusat konsentrasi negara yang dianggap penting.
Logika tikus mati dalam lumbung padi, itulah kenyataan
sekarang. Papua begitu kaya. Tetapi penduduknya mati karena kekerasan akibat
konflik yang berkepanjangan. Beda kalau negeri lainya diluar Papua ada orang
meningal karena kemiskinan. Sebut saja, Pembongkaran gunung Grasserg pertama
dilakukan oleh Freeport, sudah sekitar tujuh puluh lima persen warga setempat
punah. Itu baru terjadi disaat freeport mula-mula masuk diPapua. Warga
dipindahkan dari gunung tambang yang kita kenal sekarang lalu digiring ke
daerah dataran dekat laut. Kwamki lama yang sering terjadi perang budaya adalah
salah satu lokasi penempatan warga Papua setelah digusur dari gunung
nemangkawi.
Pemerintah Indonesia tidak segan-segan menembak mati
siapapun diPapua yang berani menetang aset vital negara. Ratusan warga
meninggal akibat protes besar-besaran di areal Freeport tahun 1980an hingga
sekarang jumlahnya sudah tidak lagi ratusan. Tidak saja derita darah tumpah
demi Freeport dialamai orang Papua tetapi warga negara lain pun mengalami nasib
yang sama. Demi freeport saja, kasus-kasus penembakan di freeport harus
dikubur. Sudah tuntaskah warga Australia yang tewas tertembak di Freeport
beberapa waktu silam?. Sudah tuntaskan warga Amerika yang tewas tertembak di
areal Freeport tahun 2001 silam. Apakah pelaku kekacauan selalu dicap pengacau
keamanan dijaman Suharto, lalu dijaman Reformasi dicap separatis lalu sekarang
dicap pelaku teror aja…?. Rantai konflik yang terjadi tidak bisa tuntas bila
para pemodal terus gerilya dan meminta jaminan apapun kepada negara.
Saya menduga kasus-kasus yang sering terjadi di
Timika, Nabire, Puncak Jaya dan Wamena tidak berdiri sendiri dari suatu aktor
besar yang ingin menjajakan kakinya. Siapa dia?, adalah FREEPORT. Alasanya,
Freeport berkehendak memperluas areal operasinya ke daerah-daerah seputar
pegunungan Papua. Sebaran emas dan Tembaga yang melimpah ruah di pegunungan
Papua inilah, membuat perusahaan raksasa ini mau tidak mau harus memburunya
hingga mendapatkannya.
Penjajakan operasi tambang Freeport di wilayah Nabire
saja ditolak oleh warga setempat tidak lama ini. Tuntutan warga setempat kepada
Freeport adalah Freeport siap menyekolahkan anak-anaknya di luar negeri. Toh
tuntutan ini berujung pada penolakan oleh Freeport. Bias dari penolakan ini
maka dihembuskanya pemekaran Papua tengah. Miiterisasi pun digalang dengan
mendirikan perlawanan sipil vs sipil. Sejumlah warga pendatang di kumpulkan
lalu diadu dengan warga setempat. Maka di Nabire tidak heran bila terjadi
pembunuhan berantai yang tak masuk akal.
Tidak jauh dari radius operasi Freeport, Puncak Jaya
yang dibawah gunung ini telah di bor. Ketakutan Freeport atas gangguan keamanan
inilah, kita saksikan operasi-demi operasi digalakan di wilayah ini. Kekuatan
baru kelompok bersenjata didirikan di Puncak Jaya. Dengan alasan, bila saja ada
konflik bersenjata, pemerintah dengan mudah menuduh Goliat Tabuni sebagai
dalang. Padahal, kekuatan Goliat Tabuni tidak sehebat yang sering kita saksikan
ditunjukan oleh negara ini dalam berbagai kasus-kasus. Nah, saya duga ada kaum
bersenjata yang sengaja dipelihara negara dengan tujuan meyakinkan publik untuk
tetap ada operasi di Pucak Jaya.
Dari segala lumbung konflik yang terjadi siapa yang
mendapat keuntungan dari semua ini?. Sudah pasti, Freeport terus melebarkan
arealnya ke wilayah-wilayah penghasil emas dan tembaga. Militer Indonesia
mendapat hibah dari dana keamanan Freeport lalu di sedot dana keamanan negara
melalui APBN dan APBD Otsus Papua. Kamtibmas di areal perusahaan bukan untuk
ketentraman warga tetapi negara menggelar kamtibmas untuk pengamanan aset
asing.
Konflik Papua harus diselesaikan dalam ruang pengentasan hegemoni imperialisasi
aset ekonomi bangsa. Sudah lama negara ini berdiri, mari kita dewasa untuk
mementingkan kepentingan rakyat daripada pemodal-pemodal serakah. Negara-negara
berkembang lainnya justeru maju seketika mengadopsi kebijakan neoliberal dalam
paket globalisasi. Indonesia justeru jadi sampah pembuangan arus globalisasi
karena mentalitas pemimpin negeri ini tidak mengutamakan rakyatnya, kekayaanya
tidak diproteksi, konflik kepentingan menganga tanpa kepastian keadilan hukum.
Membiarkan penguasaan asing diPapua jangan berharap NKRI utuh sebaba kapan saja
semaunya mereka memisahkan Papua dari NKRI untuk memudahkan pengusaan aset
orang Papua. Mari memberi didikan yang baik bagi rakyat kami, dan bukan
mengadudomba rakyat Papua demi kepentingan investasi semata. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar